22 Juni 2022

PGP-4-Kabupaten Ogan Komering Ilir-Ibnu Anwar-3.3-Aksi Nyata.

 3.3.a.10 Aksi Nyata Pengelolaan Program Berdampak Pada Murid 


Nama CGP : Ibnu Anwar

Asal : SD N 1 Mulyaguna


Facts (Peritiwa)

Latar Belakang

Aksi nyata 3.3 ini dilaksanakan berdasarkan Filosofi Pemikiran Ki Hajar Dewantara. Melalui filosofi dan metafora “menumbuhkan padi”, Ki Hajar Dewantara mengingatkan kita bahwa dalam mewujudkan pembelajaran yang berpusat pada murid, kita harus secara sadar dan terencana membangun ekosistem yang mendukung pembelajaran murid sehingga mampu memekarkan mereka sesuai dengan kodratnya. Dengan demikian, saat kita merancang sebuah program/kegiatan pembelajaran di sekolah, baik itu intrakurikuler, ko-kurikuler, atau ekstrakurikuler, maka murid juga seharusnya menjadi pertimbangan utama. Pertanyaannya kemudian adalah sejauh mana kita dapat menempatkan murid dalam proses pengambilan keputusan terkait dengan program/kegiatan pembelajaran tersebut?

Kita semua tentu sepakat bahwa murid-murid kita dapat melakukan lebih dari sekedar menerima instruksi dari guru. Mereka secara natural adalah seorang pengamat, penjelajah, penanya, yang memiliki rasa ingin tahu atau minat terhadap berbagai hal. Lewat rasa ingin tahu serta interaksi dan pengalaman mereka dengan orang lain dan lingkungan sekitarnya, mereka kemudian membangun sendiri pemahaman tentang diri mereka, orang lain, lingkungan sekitar, maupun dunia yang lebih luas. Dengan kata lain, murid-murid kita sebenarnya memiliki kemampuan atau kapasitas untuk mengambil bagian atau peranan dalam proses belajar mereka sendiri. Namun, terkadang guru atau orang dewasa memperlakukan murid-murid seolah-olah mereka tidak mampu membuat keputusan, pilihan atau memberikan pendapat terkait dengan proses belajar mereka. Kadang-kadang kita bahkan tanpa sadar membiarkan murid-murid kita secara sengaja menjadi tidak berdaya (learned helplessness), dengan secara sepihak memutuskan semua yang harus murid pelajari dan bagaimana mereka mempelajarinya, tanpa melibatkan peran serta mereka dalam proses pengambilan keputusan tersebut. 

Program akhir yang bisa saya laksanakan di lingkungan pengaruh adalah pelepasan murid kelas enam. Selain itu tugas guru kelas enam tinggal menyelesaikan laporan belajar. Kegiatan pelepasan kelas enam berdasarkan tradisi ada dua jenis kegiatan ko-kurikuler yaitu wisata (jalan-jalan), dan pentas seni. Terakhir kali diprogramkan dua tahun lalu, diskusi tidak ada kata sepakat. Karena penawaran ke orang tua murid pada tahun pelajaran 2019/2020 tidak ada mufakat. Akhirnya kegiatan pelepasan kelas enam ditiadakan.

Pada tahun pelajaran 2021/2022 sebagai guru penggerak, saya mulai membangun komunitas orang tua murid. Kegiatan ini masih berupa hal baru sehingga penuh tantangan. Berbekal pengalaman saya di sekolah lama, saya beruntung bisa menjalankan peran pendidikan keluarga di sekolah. Intinya adalah penguatan tripusat pendidikan. Kunci keberhasilannya adalah adanya pelibatan orang tua murid dalam penyusunan program sekolah. Baik itu program akademik maupun non akademik seperti keuangan dan kegiatan pengembangan bakat dan minat pada program ekstrakurikuler.

Langkah yang saya lakukan di SD N 1 Mulyaguna adalah pembentukan paguyuban kelas. Selanjutnya saya menguatkan komite sekolah melalui pembentukan kelengkapan struktur manajemen komite sekolah. Peran orang tua dan komite sekolah di sekolah saya yang lama sangat membantu ketika dana bos belum cair bahkan kurang bisa menyokong program sekolah. Karena itu di SD N 1 Mulyaguna, pengalaman itu saya terapkan. Mulai dari persiapan kegiatan forum DAS dan Icraf. Saya sempat pusing dan pesimis karena adanya kekhawatiran gangguan dari lsm dan wartawan. Memang kegiatan sekolah di Kabupaten OKI sering ditakut-takuti masalah hukum. Menurut saya, kita punya buku pedoman BOS asalkan kegiatan sekolah disosialisasikan dan dilaksanakan sesuai aturan BOS, tidak perlu takut. Pada masa melek digital yang perlu kita pegang adalah integritas akhlak.

Musyawarah persiapan kegiatan forum DAS dan Icraf berhasil. Tiga aturan sumbangan orang tua dalam pedoman BOS berhasil diterima orang tua. Buktinya adanya sumbangan dana dan barang berupa cat. Kesimpulannya kepemilikan orang tua terhadap sekolah ada dan perlu ditingkatkan.

Rumusan Masalah

Berdasarkan pengambilan keputusan persiapan kegiatan Forum DAS dan Icraf. Saya optimis kegiatan pelepasan kelas enam juga berhasil dilaksanakan. Adapun masalah yang saya hadapi adalah:

Bagaimana cara menerapkan voice, choice, dan ownership pada kegiatan pelepasan kelas enam? Melalui kolaborasi dengan teman sejawat, saya menggunakan instrumen surat persetujuan kegiatan. Sebelum instrumen saya edarkan, murid kelas 6A dan 6B terbagi dalam dua kelompok. Pertama kelompok mendukung kegiatan wisata, kelompok kedua menginginkan kegiatan pentas seni. Ini merupakan bentuk voice (suara) murid. Setelah instrumen saya edarkan, hasilnya adalah dari 41 murid, 36 orang tua mendukung, 3 menolak, 2 belum dikembalikan.

Kesepakatan saya dengan teman sejawat dan ijin dari kepala sekolah, saya tetap melaksanakan kegiatan pentas seni. Kegiatan kami selanjutnya adalah musyawarah bersama orang tua murid. Sempat pesimis karena awalnya orang tua yang datang setsngah dari jumlah murid. Alhamdulillah ketika musyawarah kita laksanakan, hampir semua orang tua murid datang. Saya memimpin musyawarah pemilihan jenis kegiatan pelepasan murid kelas enam dan pembentuan panitia dari orang tua murid. Melaui pengambilan suara terbanyak, orang tua murid memilih pentas seni. Suara murid menurut saya terwakili karena mayoritas murid juga memilih pentas seni.

Dokumentasi CGP Memimpin Rapat

Pada tahapan ini, saya telah berhasil melaksanakan alur bagja sampai alur jabarkan rencana. Langkah selanjutnya adalah atur eksekusi. Alur bagja terakhir ini saya laksanakan dengan menyerahkan sepenuhnya tanggung jawab pelaksanaan kegiatan kepada orang tua murid. Hal ini saya laksanakan agar oknum wartawan dan lsm menggunakan delik sekolah memaksakan kegiatan. Sesuai buku pedoman BOS dan buku manajemen sekolah tentang peran serta orang tua murid, peran orang tua melalui paguyuban kelas dan komite sekolah adalah sejajar dengan pihak sekolah. 

 

Dokumentasi Rapat Dipimpin Orang Tua Murid

Manfaat Program

Orang tua murid memiliki peran sebagai mitra penguat dan pendukung pelaksanaan program sekolah. Melalui pelibatan orang tua murid, menurut saya ada beberapa manfaat kita peroleh, antara lain:

  1. Murid merasa bangga karena suara murid didukung orang tuanya
  2. Kerjasama orang tua murid dan pihak sekolah semakin kuat
  3. Pelaksanaan program sekolah menjadi lebih ringan dan terarah

FEELINGS (PERASAAN)

        Setelah melakukan aksi nyata modul 3.3 Pengelolaan Program Berdampak Pada Murid, saya merasa bahagia karena semua pihak semakin kompak dalam semangat kekeluargaan. Pilihan (choice) murid ketika diberikan pilihan tugas pengisi acara sangat antusias. Tidak ada terlontar kata " tidak mau". Bahkan murid-murid langsung berlatih serius difasilitasi oleh guru. Plong saya rasakan ketika guru antusias memberikan bimbingan. Rasa memiliki (ownership) tampak ketika setiap hari murid berlatih dibimbing teman sejawat. Tanpa saya harus bersusah-susah meminta, melalui bantuan teman sejawat, kegiatan latihan terlaksana dengan baik. Perasaan tambah bahagia ketika dukungan dana dari orang tua hampir 100%. Saya selalu mengingatkan bahwa sumbangan orang tua tidak boleh memaksa kalau bisa malah subsidi silang. Alhamdulillah ada orang tua yang menyumbang makanan ringan dan membantu sound system.

Dokumentasi Foto Orang Tua Mempersiapkan Tempat Pentas Seni

FINDINGS (PEMBELAJARAN)

Selalu ada kemudahan dari setiap kesulitan. Potongan ayat suci Al Quran ini pas untuk menggambarkan pembelajaran yang saya dapatkan setelah melaksanakan program. Program pelepasan kelas enam melalui pentas seni sukses berkat komunikasi dan dukungan dari tri pusat pendidikan. Tanpa adanya orang tua murid dibalik layar menggalang sumbangan, tidak mungkin dana terkumpul dan bantuan makanan dan sound system terwujud. Tanpa adanya teman sejawat guru yang tiap hari melatih murid, daya lenting murid tidak tercapai. Tanpa adanya sosialisasi kegiatan dan pelibatn orang tua murid, cgp tidak akan mampu melaksanakan sendiri. Karena pada saat bersamaan tugas-tugas sekolah merekap nilai rapot dan nilai ujian, tugas lms guru penggerak yang mendekati waktu akhir pengiriman. Pembelajaran lainnya penguatan komunitas ekosistem sekolah harus diperkuat untuk membangun sekolah secara gotong royong.

Dokumentasi Dukungan Orang Tua Pada Kegiatan Pensi

FUTURE (PERUBAHAN)

Kegiatan pentas seni merupakan bagian penting dari perubahan cara pandang sekolah terhadap orang tua murid. Orang tua murid merupakan mitra stategis yang kedudukannya sejajar dengan sekolah. Melalui peran paguyuban kelas dan komite sekolah yang berperan aktif memberikan saran dan dukungan terhadap sekolah, hambatan sekolah dalam melaksanakan program seperti pengecatan kelas dan pentas seni memperoleh solusi. Sebagai CGP saya akan mendorong peran serta orang tua dalam perancangan program sekolah, perancangan anggaran sekolah, dan pelibatan orang tua sebagai mitra sekolah dalam pelaksanaan program sekolah. Kunci kesuksesan suatu program adalah perencanaan, sosialisasi, dan keterbukaan diimbangi dengan pelayanan prima. Sesuai dengan nasehat Pak Ustad pada kegiatan pentas seni, guru tanpa murid tidak bisa melaksanakan tupoksinya, murid tanpa guru pendidikan tidak terarah, dan guru tanpa dukungan orang tua murid tidak akan bisa melaksanakan tugas-tugasnya dengan baik.

Konsep tripusat pendidikan harus dilaksanakan secara utuh. Pada tahun pelajaran yang akan datang cgp mempunyai tugas tindak lanjut selama satu tahun. Saya belajar dari pengalaman bahwa sosialisasi program yang baik akan menguatkan peran tujuh aset utama di sekolah, yaitu manusia, sosial, fisik, lingkungan, finansial, politik, agama dan budaya. Pelaksanaan manajemen inkuiri apresiatif bagja harus dibiasakan. Program harus ditulis, dikoordinasi dalam musyawarah, dibuat manajemen resikonya, dan dilakukan monitoring evaluasi. Sebagai guru kita harus mendokumentasikan praktik baik yang kita laksanakan agar bisa jadi bahan pertimbangan kegiatan serupa pada tahun berikutnya. Sebagai CGP saya tidak akan bisa melaksanakan aksi nyata tanpa pihak-pihak yang berperan di balik layar. Karena itu komunitas sekolah dan komunitas 

orang tua akan selalu saya perkuat melalui sosialisasi program sekolah di media sosial sekolah.

Dokumentasi Dukungan Sekolah Terhadap Murid Berprestasi

Dokumentasi Video Aksi Nyata:

Link Dokumen Bagja

https://youtu.be/ej1pH-W92HE 

Link pelaksanaan program

https://youtu.be/QZYbkcxwT34





14 April 2022

AKSI NYATA MODUL 1.4 BUDAYA POSITIF

LATAR BELAKANG

  Seperti kita ketahui, Mendikbudristek telah meluncurkan kurikulum merdeka. Esensi dari kurikulum ini adalah prifil pelajar Pancasila. Profil pelajar Pancasila tertuang dalam dengan Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nomor 22 Tahun 2020 tentang Rencana Strategis Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Tahun 2020-2024. Pada Bab II tentang visi misi kementerian dijelaskan bahwa Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan mendukung visi dan misi Presiden untuk mewujudkan Indonesia maju yang berdaulat, mandiri, dan berkepribadian melalui terciptanya Pelajar Pancasila yang bernalar kritis, kreatif, mandiri, beriman, bertakwa kepada Tuhan YME, dan berakhlak mulia, bergotong royong, dan berkebinekaan global.

   Lalu bagaimana menerapkan profil pelajar Pancasila di sekolah? Penerapan profil pelajar Pancasila terintegrasi dalam pembelajaran baik pelaksanaan pembelajaran maupun penilaian pembelajaran. Sebelumnya kita mengenal penguatan pendidikan karakter melalui permendikbud nomor 20 Tahun 2008 tentang penguatan pendidikan karakter (PPK). PPK bertujuan untuk menguatkan nilai-nilai Pancasila dalam pembelajaran baik kokurikuler, intrakurikuler, dan ekstrakurikuler. Profil pelajar Pancasila merupakan pengutan dari pelaksanaan PPK yang lebih spesifik penerapannya sebagai rencana strategis kementerian dan dikemas dalam kurikulum prototype yang kita kenal dengan kurikulum merdeka.

Kurikulum merdeka ini merupakan paket komplit kurikulum, karena penerapan nya di kemas secara apik, komprehensif dari keresahan guru dalam melaksanakan kurikulum satuan pendidikan. Karenaa kurikulum merdeka memberikan panduan kepada guru dalam menerapkan praktik penguatan profil pelajar Pancasila melalui apps merdeka mengajar. Paket komplit karena permendikbud-permendikbud nawacita tentang pelarangan tindakan kekerasan, larangan kawasan merokok, penerapan sekolah ramah anak dijadikan satu dalam modul budaya positif.

Inti dari modul budaya positif ini adalah menggerakkan siswa agar muncul kebiasaan baik dari dalam dirinya (intrinsik). Budaya positif memberikan keadilan kepada siswa yang memerlukan bimbingan melalui restitusi dan praktik segitiga restitusi. Kesadaran dari dalam diri tidak lagi dikekang dalam bentuk tata tertib yang bersifat memaksa maupun pembiasaan hadiah dan predikat untuk mengajak anak mematuhi tata tertib.

Budaya positif menurut Dr. Willian Glasser teentang teori stimulus kontrol memberikan gambaran bahwa kita selama ini misskonsepsi bahwa guru mengontrol murid, bahwa semua penguatan positif efektif dan bermanfaat, bahwa kritik membuat semua orang merasa bersalah dapat menguatkan karakter, bahwa orang dewasa memiliki hak untuk memaksa. Kesimpulannya stimulus respon bisa berdampak jangka panjang jika mampu menggerakkan perubahan secara intrinsik.

 

Berdasarkan penjelasan di atas, aksi nyata modul 1.4 budaya positif bertujuan untuk menyampaikan pembelajaran dari penerapan konsep inti dari modul budaya positif. Oleh karena itu aksi nyata dilaksanakan dalam bentuk praktik baik sosialisasi modul budaya positif, praktik baik pembuatan kesepakatan kelas, keyakinan kelas, dan praktik segitiga restitusi di kelas maupun di sekolah..

B. TUJUAN

Tujuan dari modul 1.4 budaya positif adalah :

  • Memahami konsep pendidikan menurut Ki Hajar Dewantara dihubungkan dengan konsep budaya dan lingkungan positif di sekolah yang berpihak pada murid. 
  • Melakukan evaluasi dan refleksi tentang praktik disiplin dalam pendidikan Indonesia secara umum untuk mendapatkan pemahaman baru mengenai konsep disiplin positif untuk menciptakan murid dengan profil pelajar Pancasila.
  • Memahami peran sebagai guru untuk membangun budaya positif  dengan menerapkan konsep disiplin positif dalam berinteraksi dengan murid.

 

C. DESKRIPSI AKSI NYATA

 Aksi nyata dari modul 1.4 sesuai LMS adalah sosialisasi modul 1.4 tentang budaya positif. Selain itu tentunya adalah praktik baik pelaksanaan budaya positif dalam pembelajaran seperti:

1. Sosialisasi modul 1.4 budaya positif kepada rekan sejawat Berikut tautan aksi nyatanya : https://www.youtube.com/watch?v=di-Tev18W1M

2. Praktik segitiga restitusi Berikut tautannya: https://www.youtube.com/watch?v=iFWhfm2r2Us

3. Pembuatan kesepakatan kelas dan keyakinan kelas

    Berikut bukti aksi nyatanya:

 

                                          Gambar Kesepakatan Kelas
                                            Gambar Keyakinan Kelas

4. Pelaksanaan budaya positif di kelas dan di sekolah

Berikut tautannya: https://www.youtube.com/watch?v=D5X6jDnmoc0

 

D. TOLOK UKUR KEBERHASILAN

Tolok ukur dari keberhasilan aksi nyata modul 1.4 tentang budaya positif adalah sebagai berikut:

1. Rekan guru memahami dan mau menrapkan praktik budaya positif dalam pembelajaran

2. Kepala Sekolah memberikan penguatan untuk mengurangi praktih hukuman dan imbalan diganti dengan praktik restitusi dalam membiasakan budaya positif

3. Tidak adanya pembulian dan tindakan kekerasan lain di sekolah

4. Siswa memahami dan mau melaksanakan keyakinan kelas

 

 E. HASIL AKSI NYATA 1.4

Hasil dari aksi nyata 1.4  tentang budaya positif adalah penerapan budaya positif oleh CGP, rekan sejawat, dan orang tua di rumah. Hasil aksi nyata yang lain adalah anak tanpa paksaan dan imbalan sadar secara intrinsik untuk mematuhi keyakinan kelas, melaksanakan budaya positif di sekolah.

 

F. REFLEKSI AKSI NYATA

Kegiatan perubahan yang kita lakukan belum tentu langsung menarik perhatian dan simpati teman sejawat. Kadangkala dukungan yang diberikan merupakan dukungan yang tidak penuh. Oleh karena itu kita harus selalu bersemangat dan memulai segala sesuatu diniati dengan ibadah. Seperti kegiatan aksi nyata 1.4 yang saya lakukan, kegiatan sosialisasi hal baik di sekolah lama saya yaitu di Kota Semarang langsung direspon positif karena budaya di sekolah lama salah adalah budaya menerima perubahan. Sedangkan budaya di sekolah saya sekarang belum menerima perubahan dan hal baik yang bersifat baru. Sebagai agen perubahan kita tidak perlu khawatir, cara-cara persuasif dengan menjadi contoh baik akan menarik perhatian orang-orang disekitar kita. Apabila pemangku kepentingan kurang mendukung. Kita bisa mengidentifikasi teman yang bisa kita ajak maju bersama dalam sebuah komunitas praktisi untuk memberikan perubahan. Karena perubahan harus kita mulai dari diri sendiri, hal terkecil, dan mulai dari sekarang. Perubahan harus kita mulai dari kelas kita, maka teman sejawatb akan memperhatikan perubahan yang kita lakukan.

Perubahan di kelas kita dapat dimulai dengan membuat kesepakatan kelas, kemudian keyakinan kelas, dan praktik segitiga restitusi. Apabila ketiga hal ini berhasil kita laksanakan, secara perlahan teman-teman sejawat kita akan mengikuti perubahan yang kita lakukan. Ketika melakukan sosialisasi aksi nyata, kita harus mengambil dokumentasi diri dan dokumentasi peserta sambil memberikan contoh-contoh hal baik yang sudah kita laksanakan di kelas.

                               Gambar Daftar Hadir Sosialisasi Modul 1.4


Portofolio Aksi Nyata Modul 1.3 Visi Guru Penggerak


LATAR BELAKANG

 Sekolah merupakan tempat pembentukan karakter bagi murid yang sangat memengaruhi perkembangan kognitif dan afektif dan psikomotorik murid. Sekolah juga merupakan rumah kedua bagi murid setelah rumah  tempat tinggalnya sendiri, dimana murid akan lebih banyak menghabiskan waktu efektifnya. Guru merupakan orang tua siswa yang mempunyai tupoksi untuk merencanakan, melaksanakan, menilai, menganalisis dan membimbing murid dalam mengembangkan potensinya. Berdasarkan penjelasana di atas sudah semestinya sekolah menciptakan wellbeing(kenyamanan) bagi murid untuk memperoleh perkembangan kognitif, afektif dan psikomotorik murid. Sekolah harus menyediakan  kenyamanan fisik juga kenyamanan psikologis bagi murid. Kenyamanan secara psikologis penting untuk didapatkan siswa sehingga siswa memiliki penilaian positif terhadap lingkungan sekolah (Nurdianti, Fajar, & Hannan, 2016). Hal utama yang dibutuhkan siswa dalam menempuh pendidikan selain lingkungan sekolah yang kondusif untuk menuntut ilmu, siswa juga membutuhkan lingkungan sekolah yang menciptakan kesejahteraan bagi kondisi psikologis siswa, karena kesejahteraan psikologis di sekolah memiliki peran penting dalam pembentukan karakter siswa. 

Oleh karena itu, sekolah harus memiliki visi dan misi serta tujuan sekolah yang eksplisit mendukung terwujudnya wellbeing dan mendukung tujuan nasional pendidikan. Tujuan Pendidikan Nasional adalah berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang: beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab.

Menurut Evans (2001), untuk memastikan bahwa perubahan terjadi secara mendasar dalam operasional sekolah, maka para pemimpin sekolah hendaknya mulai dengan memahami dan mendorong perubahan budaya sekolah. Budaya sekolah berarti merujuk pada kebiasaan-kebiasaan yang selama ini dilakukan di sekolah. Kebiasaan ini dapat berupa sikap, perbuatan, dan segala bentuk kegiatan yang dilakukan warga sekolah. Walaupun sulit, reformasi budaya sekolah bukanlah hal yang tidak mungkin. Untuk melakukannya diperlukan orang-orang yang bersedia melawan arus naif tentang inovasi dan terbuka terhadap kenyataan yang bersifat manusiawi. Hal ini berarti butuh partisipasi dari semua warga sekolah. 

Perubahan yang positif dan konstruktif di sekolah biasanya membutuhkan waktu dan bersifat bertahap. Oleh karena itu, sebagai pemimpin, guru hendaknya terus berlatih mengelola diri sendiri sambil terus berupaya menggerakkan orang lain yang berada di dalam pengaruhnya untuk menjalani proses perubahan ini bersama-sama. Hal ini perlu dilakukan dengan niatan belajar yang tulus demi mewujudkan visi sekolah.

Untuk dapat mewujudkan visi sekolah dan melakukan proses perubahan, maka perlu sebuah pendekatan atau paradigma. Pendekatan ini dipakai sebagai alat untuk mencapai tujuan. Jika diibaratkan seperti seorang pelari yang memiliki tujuan mencapai garis “finish”, maka ia butuh peralatan yang mendukung selama berlatih seperti alat olahraga. Dalam modul ini, kita akan mengeksplorasi paradigma yang disebut Inkuiri Apresiatif (IA). IA dikenal sebagai pendekatan manajemen perubahan yang kolaboratif dan berbasis kekuatan. Konsep IA ini pertama kali dikembangkan oleh David Cooperrider (Noble & McGrath, 2016). Kita akan memakai pendekatan IA sebagai ‘alat olahraga’ untuk kita berlari mencapai garis “finish” kita yaitu visi yang kita impikan.

IA menggunakan prinsip-prinsip utama psikologi positif dan pendidikan positif. Pendekatan IA percaya bahwa setiap orang memiliki inti positif yang dapat memberikan kontribusi pada keberhasilan. Inti positif ini merupakan potensi dan aset organisasi. Dengan demikian, dalam implementasinya, IA dimulai dengan menggali hal-hal positif, keberhasilan yang telah dicapai dan kekuatan yang dimiliki organisasi, sebelum organisasi menapak pada tahap selanjutnya dalam melakukan perencanaan perubahan.

Menurut Cooperrider, saat ini kita hidup pada zaman yang membutuhkan mata yang dapat melihat dan mengungkap hal yang benar dan baik. Mata yang mampu membukakan kemungkinan perbaikan dan memberikan penghargaan. Bila organisasi lebih banyak membangun sisi positif yang dimilikinya, maka kekuatan sumber daya manusia dalam organisasi tersebut dipastikan akan meningkat dan kemudian organisasi akan berkembang secara berkelanjutan.

Pembangunan sisi positif sesuai dengan lima tujuan guru penggerak, pertama mewujudkan profil guru yang dapat mengembangkan diri dan guru lain dengan refleksi, berbagi, dan kolaborasi; Kedua, memiliki kematangan moral, emosional, dan spiritual untuk berperilaku sesuai kode etik; Ketiga, merencanakan, menjalankan, merefleksikan, dan mengevaluasi pembelajaran yang berpusat pada peserta didik dengan melibatkan orang tua; Keempat, mengembangkan dan memimpin upaya mewujudkan visi satuan pendidikan yang mengoptimalkan proses belajar peserta didik yang berpihak pada peserta didik dan relevan dengan kebutuhan komunitas di sekitar satuan pendidikan; Kelima, berkolaborasi dengan orang tua peserta didik dan komunitas untuk pengembangan satuan pendidikan dan kepemimpinan pembelajaran.

Berdasarkan pejelasan tentang funsi sekolah, manajemen pengembangan sekolah, dan tujuan guru penggerak, maka aksi nyata pada modul 1.3 ini yaitu visi guru penggerak akan fokus kepada revisi visi dan misi sekolah dan upaya untuk mewujudkan ketercapaian visi misi sekolah tersebut.

B.TUJUAN

Tujuan dari aksi nyata modul 1.3 yaitu visi penggerak adalah sebagai berikut:

1. CGP mampu membuat rencana manajemen perubahan untuk mewujudkan visi guru penggerak tentang sekolah yang ideal dan murid yang ideal

2. Mewujudkan wellbeing dari lingkungan pengaruh yaitu kelas

C. DESKRIPSI AKSI NYATA

Berdasarkan koneksi antar materi modul 1.3 dan tujuan aksi nyata, saya mengambil prakarsa perubahan mewujudkan pembelajaran yang menanamkan profil pelajar Pancasila. Prakarsa perubahan kita analisis melalui stategi manajemen perubahan bagja. Berikut adalah tautan manajemen perubahan bagja saya: https://www.youtube.com/watch?v=xp6FOlqkE1E

Adapun penjelasan aksi nyata modul 1.3 tentang visi guru penggerak adalah sebagai berikut:

1.      Budaya berbaris dan tebak-tebakkan

Kegiatan ini bertujuan untuk melatih siswa belajar disiplin dan mengecek kesiapan belajar siswa. Profil pelajar Pancasila yang ingin saya kembangkan adalah profil mandiri dan berkebinekaan global. Melalui tebak-tebakkan tentunya siswa akan mandiri untuk mempersiapkan diri dengan belajar. Sedangkan budaya baris menumbuhkan dimensi berkebinekaan global.

Adapun tautan pelaksanaan aksi nyata adalah sebagai berikut:

https://www.youtube.com/watch?v=qlZ7ofSa5n0&t=208s

2.      Pembelajaran dengan variasi kegiatan bermain menyanyi, dan berfikir.

Kegiatan pembelajaran harus bisa memberikan olah pikir, olah rasa, olah hati, dan olah raga. Apabila guru bisa menciptakan suasana pembelajaran yang memberikan kegiatan bermain, menyanyi dan berfikir, siswa dipastikan tidak akan jenuh. Karena usia anak-anak masih membutuhkan kesenangan dalam bentuk kegiatan bermain dan bernyanyi. Kegiatan belajar yang dikemas dalam bentuk permainan dan bernyanyi diharapkan dapat menumbuhkan profil pelajar gotong royong dan kreatif. Karena kegiatan bermain membutuhkan kekompakkan tim sehingga sikap gotong royong dan kreatifitas dibutuhkan untuk menjadi pemenang.

https://www.youtube.com/watch?v=camcg39tB3k

3.      Budaya bertanya jika mengalami hambatan belajar

Ketika pembelajaran berlangsung, siswa membawa kesiapan belajar yang berbeda sehingga dimungkinkan mengalami hambatan belajar yang bervariasi. Hamabatan belajar ini harus dibantu oleh sesama teman atau tutor sebaya danbisa dimintakan solusi kepada guru. Apabila siswa berani bertanya diharapkan kesulitan belajarnya teratasi. Nilai profil pelajar Pancasila yang hendak dicapai adalah bernalar kritis.

 

4.      Menciptakan variasi dalam bentuk ice breaking dan Variasi Model Pembelajaran

Kegiatan variasi dalam pembelajaran digunakan untuk membebaskan potensi positif siswa sehingga mengurangi kebosanan. Variasi model pembelajaran dilakukan untuk menciptakan pembelajaran yang sesuai dengan kebutuhan belajar siswa.

Berikut ini adalah video tautan aksi nyata 1.3 :

https://www.youtube.com/watch?v=qlZ7ofSa5n0

D.  TOLAK UKUR KEBERHASILAN 

Tercapainya tujuan pembelajaran modul 1.3 yaitu manajemen perubahan menuju sekolah yang ideal dan siswa yang ideal

 Murid mengalami dampak langsung terhadap perubahan yang kita laksanakan

Murid dapat memberikan umpan balik saat atau setelah pelaksanaan kegiatan 

 E. TANTANGAN  KEGIATAN 

1.  Pandemi covid 19 membatasi waktu belajar tatap muka

2. Daya dukung berupa aset utama dan aset lainnya dalam mewujudkan aksi nyata

3. Keterbatasan CGP dalam mewujudkan aksi nyata yang harus mematuhi aturan protokol kesehatan


F. HASIL AKSI NYATA

Hasil dari aksi nyata modul 1.3 adalah pelaksanaan bagja yang direalisasikan dalam praktik bagja dan serangkaian kegiatan pendukung seperti review kurikulum sekolah 

Berikut tautan pelaksanaan aksi nyata : https://www.youtube.com/watch?v=Kth7Pi3wgZk&t=1046s


                                              Gambar Sosialisasi Aksi Nyata di grup whatsapp sekolah

G. REFLEKSI AKSI NYATA

Perubahan yang kita lakukan di sekolah tidak bisa langsung menuju lingkaran perhatian (tingkat sekolah). Kita harus melakukan perubahan dari lingkungan pengaruh (kelas). Apabila kelas kita bagus, siswa-siswanya memiliki karakter profil pelajar Pancasila, secara tidak langsung akan menarik lingkungan perhatian untuk berubah. Kita tidak boleh menyerah karena sulit menerapkan perubahan. Perubahan memerlukan proses untuk bisa dipetik hasilnya.

 


24 Juni 2019

Yuk Cegah Kemerosotan Moral Melalui Literasi Digital

Tidak bisa dihindari, kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi khususnya media sosial membawa genderang perang kemerosotan moral. Secara kasat mata, kemerosotan moral dari media sosial belum disadari masyarakat. Karna masyarakat kita merasa nyaman ketika anak-anak dirumah bermain gawai. Orang tua zaman now cenderung khawatir ketika anak-anak bermain diluar dan bersosialisasi dengan teman-teman sebayanya. Padahal bermain diluar membawa banyak manfaat bagi anak dibandingkan bermain di dalam rumah. Karena bermain di luar memberikan kekebalan sistem imun anak, meningkatkan kemampuan keterampilan hidup, dan membantu kreativitas anak.

Jadi ada baiknya  anggapan anak bermain di dalam rumah adalah aman kita kaji bersama. Pertama, anak bermain di rumah mencegah penguatan sistem imun dan penguatan tulang. Karena anak yang bermain di rumah tidak terpapar bakteri dan sinar matahari. Padahal bakteri dan sinar matahari membantu tubuh membentuk sistem kekebalan dan penguatan tulang melaui pembentukan vitamin D. Kedua, anak yang bermain di dalam rumah lebih sering bermain gawai, hal ini berbahaya. Karena pancaran radiasi sinar gawai merusak penglihatan anak dan memicu sel-sel kanker. Lebih berbahaya ketika akses gawai yang tidak terawasi membawa anak kecanduan permainan online dan konten pornogafi. Ketiga, anak-anak yang lebih banyak bermain di rumah tentu kurang mengenal lingkungan sekitar. Hal ini mengganggu tumbuh kembang kemampuan kognitif, afektif, dan psikomotorik anak. Karena anak-anak yang lebih banyak bermain di dalam rumah kurang mengenali manfaat dan bahaya barang-barang di luar rumah, kurang mampu berkomunikasi dengan teman sebaya, dan kurang memiliki kepedulian terhadap sesama.

Mari kita kesampingkan sejenak perbedaan kita tentang manfaat dan bahaya anak bermain di dalam rumah. Karena saya sendiri berbeda dengan istri saya dalam memahami hal ini. Selanjutnya saya akan mengajak teman-teman mengenali bahaya kemerosotan moral dari sisi literasi dasar.

Teman-teman, sudah tahu belum literasi dasar? Saya yakin banyak yang belum tahu. Karena saya sendiri baru memahaminya ketika menjawab soal-soal ujian guru berprestasi pada tahun 2017. Alangkah kudet (kurang update) diri saya. Literasi dasar yang sudah didengungkan sejak tahun 2015 baru saya pahami pada tahun 2017. Itu pun mengenal karena harus baper (terbawa perasaan) karena tidak bisa menjawab isi Permendikbud Nomor 23 Tahun 2015.

Rasa baper membuat saya harus membuka laman google untuk mengurangi bad mood saya. Teman-teman, ternyata Permendikbud Nomor 23 Tahun 2015 itu berisi pedoman penumbuhan budi pekerti. Saya tentu kecewa tidak bisa menjawab soal yang seharusnya menjadi bahan bacaan saya.

Yang penting sekarang kita bersama-sama menjaga dan mengawasi anak didik kita, anak-anak kita, dan masyarakat di sekitar kita dari dampak negatif penggunaan gawai. Kenapa hal ini penting? Karena setiap orang dimanapun berada sekarang ini susah lepas dari gawai. Memang kemudahan-kemudahan yang ada digawai membantu kita. Tetapi ada ruang yang harus kita waspadai, yaitu dampak negatif penggunaan gawai secara berlebihan dan dampak negatif kemerosotan moral.

Teman-teman, sepuluh tahun, dua puluh tahun dari sekarang, keberlanjutan dan daya saing NKRI ditentukan oleh anak-anak kita. Anak-anak yang saat ini tidak bisa melepas gawai dari keseharian mereka. Anak-anak yang saat ini kita kenal sebagai generasi Z. Mereka lahir setelah tahun 1995-2011. Dan anak-anak generasi Alpha yang lahir setelah tahun 2011.

Anak-anak generasi Z dan generasi Alpha masih berusaha mencari jatidiri mereka. Mereka masih labil dan mudah meniru apa yang mereka lihat, mereka dengar, dan mereka pikirkan. Hal ini tentunya berbahaya jika tidak kita dampingi dalam menggunakan gawai. Tidak perlu lagi kita banyak berdikusi tentang kemerosotan moral. Sudah tidak relevan kita saling berbeda pendapat tentang boleh tidak nya anak menggunakan gawai. Kenapa? Karena masanya mereka tidak bisa dicegah dari menggunakan gawai. Alih-alih mencegah, mereka malah mendapatkan apa yang tidak mereka dapatkan diluar pengawasan kita.

Karena itu, saat ini diperlukan tindakan nyata untuk peduli terhadap orang-orang di dekat kita. Peduli mengawasi, menelusuri, memantau dan memberikan bimbingan terhadap kegiatan anak-kita dalam menggunakan gawai. Coba luangkan waktu sejenak untuk melihat berita-berita kriminal di media cetak maupun elektronik. Teman-teman akan menemukan bahwa kejahatan yang terjadi saat ini terinspirasi dari media elektronik.

Perundungan, pelecehan seksual, tindakan kriminal yang dilakukan masyarakat saat ini, bermula dari apa yang mereka lihat, mereka dengar akhirnya mereka pikirkan dan mereka lakukan. Itulah bahayanya gawai bagi anak-anak kita.

Sekarang bagaimana cara mencegah kemerosotan moral yang telah mengintai dan menjangkiti sebagian besar anak-anak kita? Aksi nyata kita adalah peduli terhadap orang-orang di sekitar kita. Selanjutnya kita kenalkan literasi digital. Kenapa literasi digital? Karena literasi digital merupakan usaha preventif dan kuratif untuk mengajak anak memanfaatkan gawai secara tepat.

Literasi digital merupakan bagian tidak terpisahkan dari literasi dasar. Sudahkan teman-teman mengetahui literasi dasar! Jika belum, mari luangkan waktu teman-teman untuk berselancar di laman gerakan literasi nasional. Di laman ini kita akan menemukan enam literasi dasar, yaitu literasi baca-tulis, literasi numerasi, sains, literasi finansial, literasi digital, dan literasi budaya dan kewargaan.

Berbagai upaya sudah dilakukan untuk mengenalkan literasi digital. Namun upaya-upaya tersebut belum masih sekadar "hangat-hangat tahi ayam". Artinya ada keinginan untuk melakukan perubahan atau tindakan nyata tetapi belum terealisasi sampai ke level lapisan paling bawah masyarakat kita.

 Apakah tidak ada literasi digital yang bisa menjangkau seluruh lapisan masyarakat kita. Sudah ada, salah satunya pembatasan akses laman-laman pronogafi, laman kekerasan oleh penyedia layanan internet. Tapi sudahkah efektif? Belum, karena ada saja cara untuk membuka celah pembatasan tersebut. Jadi saat ini kita perlu terus-menerus menularkan manfaat-manfaat gawai  secara terstruktur, sistematis dan masif. Dan mencegah dampak negatif penggunaan gawai dengan mengenalkan akibat-akibat mengakses informasi negatif dari dunia maya.

Saya salut dengan saluran youtube "pol apike" dan program televisi "Bocah Ngapa(k) Ya" disalah satu televisi nasional. Saluran youtube dan program acara tersebut konsisten mengajak masyarakat kembali ke budaya lokal. Setiap tontonan dalam program tersebut tidak menampilkan penggunaan gawai. Karena mereka mengajak masyarakat untuk kembali ke permainan tradisional dan masa-masa masyarakat belum menggunakan gawai. Inilah tontonan yang juga tuntunan, tayangan positif yang bersifat komedi yang menjadi #sahabatkeluarga dalam mengenalkan kearifan budaya lokal.

Salah satu BUMN kita yaitu telkomsel telah melakukan upaya literasi digital melalui program internet baik telkomsel. Program CSR telkomsel ini menyasar masyarakat dewasa untuk melihat peluang penggunaan internet dari sisi positif dan mengajak masyarakat memahami bahaya internet.

Jadi literasi digital adalah kemampuan untuk menggunakan potensi dan keterampilan dalam memanfaatkan piranti-piranti digital secara tepat. Melalui literasi digital kita budayakan #literasikeluarga anak untuk memahami bahwa pembatasan dalam penggunaan gawai bertujuan untuk menjaga masa depan mereka. Kita luangkan waktu untuk mengawasi dan menelusuri akses anak-anak kita terhadap dunia digital. Dan kita berikan hukuman dan bimbingan secara benar ketika anak-anak mengakses konten-konten negatif. Bagaimana caranya? Kita ajak bicara empat mata lalu kita sampaikan bahaya yang mengintai mereka ketika mengakses konten-konten negatif. Mari kita peduli secara benar sebagai orang tua dengan membiasakan anak bermain tanpa menggunakan gawai. Kita luangkan waktu bercengkrama dengan orang-orang yang kita cintai untuk membiasakan tidak menggunakan gawai.#sahabatkeluarga